Sumber Gambar |
Di abad pertengahan, seorang ‘pencuri’ ternama di Eropa, Napoleon Bonaparte, secara terang-terangan mencuri artefak budaya dari mesir ke perancis. Trocadero namanya. Sekarang menjadi ‘icon’ negara prancis. Bisakah anda bayangkan? Sebuah artefak budaya curian dijadikan icon sebuah negara! Coba lihat contoh lain. Lagu Rasa Sayange, lagu daerah dari daerah Maluku, ternyata berasal dari negara di oceania, lautan pasifik dan dinyanyikan pada abad ke 19 di negara-negara tersebut dalam bahasa mereka. Kabarnya, lagu ini dibawa oleh missionaris kristian ke daerah maluku, dan dinyanyikan juga oleh teman-teman dari Maluku dalam bahasa mereka. Lagu ini dibawa oleh pedagang-pedagang rempah-rempah yang berlayar sampai ke malaysia. Atau, cerita tentang orang Amerika yang menjuarai perlombaan lempar bumerang mengalahkan para native. Bagaimana dengan film ninja amerika yang konon lebih laris dan lebih meledak daripada jepang; juara sumo yang berasal dari hawai; dan pendekar silat dari Australia, Swedia atau Kanada?
Sekarang, coba baca analogi ini. Anggaplah anda membeli seekor kucing. Tetapi karena anda orang sibuk, anda tidak punya waktu untuk mengurus kucing itu. Anda adalah anak SMA, dan dihujani oleh berbagai tugas dan pekerjaan rumah dari sekolah anda. Lalu anda menelantarkan kucing tadi; tidak diberi makan, tidak dimandikan, dan lain sebagainya. Saat itulah adik anda memelihara dan merawat kucing itu, memberikannya makan, memandikannya, dan menghabiskan banyak waktu dengan kucing itu. Menurut anda siapakah yang lebih cocok mempunyai hak milik atas sesuatu, orang yang menciptakan atau yang memeliharanya? Betapa banyak orang Indonesia yang mengatakan batik itu kampungan, tidak modern, dan lain lain; tapi saat negara lain memakainya, orang Indonesia mencak-mencak mengatakan ‘itu punya Indonesia!’.
Mulai dari sekarang, coba lagi bertanya, siapa sesungguhnya pemilik budaya itu? Seandainya orang Indonesia memang memakai, memelihara dan merawat budayanya sungguh-sungguh, tentu negara lain pun akan menganggap budaya ini milik Indonesia. Orang negara lain akan merasa segan memakai budaya tersebut. Jika budaya itu asli dari Indonesia, tetapi tidak dipakai dan diregenerasikan, jangan marah kalau nanti orang dari negara lain yang menganggap budaya kita precious memakai dan bahkan mengatakan itu milik mereka. Mereka yang menggunakan dan memelihara budaya itu saat kita, sang pemilik budaya, melupakannya. Daripada budaya itu musnah, lebih baik dipakai oleh orang lain bukan?
Beralih ke masalah lain, di samping masalah budaya, bangsa Indonesia juga mengalami krisis identitas. Di alam globalisasi di mana hubungan komunikasi dan pergaulan dunia seakan tanpa batas, jelas membuka peluang terjadinya proses akulturasi. Jika proses akulturasi akhirnya menghasilkan dominasi kebudayaan asing, berarti memusnahkan lokal genius. Ini tidak lain adalah pendangkalan budaya, yang tidak mustahil bermuara pada kehancuran budaya-budaya lokal, yang berakibat hilangnya jati diri suatu bangsa atau etnik. Sebaliknya akulturasi yang membuahkan integrasi, tatkala budaya lokal mampu menyerap unsur-unsur budaya asing justru untuk memperkokoh budaya lokal, berarti menambah daya tahan serta mengembangkan identitas budaya masyarakat setempat. Terjadinya krisis jati diri (Identitas) nasional. Nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, keramahtamahan sosial, dan rasa cinta tanah air yang pernah di anggap sebagai kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia, dan makin pudar bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme. Demikian pula kebanggaan atas jati diri bangsa seperti penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar semakin terkikis oleh nilai-nilai yang dianggap lebih unggul. Identitas nasional meluntur oleh cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta tidak mampu-nya bangsa Indonesia mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan bangsa dan karakter bangsa.
Ditengah-tengah krisis identitas yang sedang gencar melanda negeri ini, maka kata “Revitalisasi dan pemberdayaan kembali identitas nasional” terasa membawa angin segar bagi warga Negara Indonesia yang masih cinta terhadap nilai-nilai khas Indonesia , yang berdasarkan pancasila. Mengembalikan jati diri bangsa dan Krisis identitas nasional, salah satu alasannya adalah hasil dari budaya manajemen yang lemah. Hal ini diperkuat oleh apresiasi rendah dari para pelaku budaya, seniman dan penegakan hukum masih lemah. Masalah demokratisasi, liberalisasi, HAM, tekanan ekonomi, dan mudah dihapus artefak dan sumber-sumber budaya lain dokumen, juga mempengaruhi krisis identitas nasional .. Masalah dalam mempertahankan budaya nasional harus mempertimbangkan pemerintah, kemudian mengembalikan jati diri dan identitas yang dikenal sebagai keragaman seni dan budaya di negara ini. Permasalahan ini, pemerintah harus membuat peraturan untuk mendukung pemberdayaan budaya lokal dan penghargaan bagi pelaku seni dan budaya. Diharapkan pemerintah sebelum melakukan berbagai program budaya dari berbagai pembangunan, seperti program-program utama, yakni pelaksanaan dialog terbuka, pengembangan pendidikan multikultural, perawatan dan pembangunan tempat-tempat umum, peningkatan penegakan hukum dan penciptaan cara yang berbeda ikatan kebangsaan mengembalikan jati diri bangsa.
Celakanya lagi , generasi muda yang seyogyanya menjadi penggerak terbesar urat nadi bangsa ini, adalah kalangan-kalangan yang paling rentan terhadap wabah krisis identitas bangsa. Bujuk rayu budaya barat yang bersifat individualisme, materialisme, dan kapitalisme, rupanya sesuai dengan permintaan pasar kaula muda di Indonesia .Sehingga ia laku bak barang diskonan. Pancasila pun mendapat banyak gugatan, sinisme, dan pelecehan terhadap kredibilitasnya sebagai dasar Negara, ataupun ideologi. Tak bisa dipungkiri, peranan mereka-mereka yang mengaku “idealis” turut berperan dalam menimbulkan cap negatif kawan-kawan muda yang sesungguhnya masih polos untuk di isi, dengan doktrin-doktrin bahwa Indonesia tidak punya cukup harga diri jika dibandingkan dengan segala kemapanan dari negeri jauh di barat. Cap “Negara dunia ke-tiga” dan “Negara berkembang” tak pernah melepaskan kita dari keinginan untuk mengadopsi megahnya hal-hal di “Negara maju” itu.
Bangsa yang besar, adalah bangsa yang bangga dan konsisten atas identitasnya. Seperti halnya setiap manusia yang telah dibekali kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda oleh Tuhan. Kita ditunjukkan bahwa keberagaman itu memang nyata, dan orang yang mampu memanfaatkan bakatnya, akan menjadi yang terbaik dikalangannya. Sedangkan krisis identitas, justru akan membuat kita masuk kedalam golongan rata-rata, yang sampai kapanpun tidak akan dilirik dunia.
Kemal Anshari Elmizan
1102001002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar