Selasa, 10 Januari 2012

Masalah PNS Indonesia dan reformasi birokrasi

Beberapa mahasiswa memasuki sebuah ruangan di kantor instansi pemerintahan untuk mengurus surat rekomendasi. Mereka disuruh menunggu beberapa saat. Mahasiswa-mahasiswa tersebut melihat para pegawai pemerintahan; ada yang sedang sibuk main game di depan komputer, ada yang sedang makan, ada yang sedang asik bermain catur. Padahal saat itu adalah jam kerja. Apa yang terjadi? Ini adalah salah satu potret kerusakan dan kekacauan birokrasi di Indonesia. Pegawai Negeri yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selayaknya melakukan tugas dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk pengabdian terhadap negara malah meng’korupsi’ waktu kerja mereka.
 

PNS sepertinya akan menjadi pekerjaan yang menjanjikan di masa depan, karena secara umum gajinya tergolong tinggi, dan pekerjaannya dijamin oleh negara. Gaji terendah pegawai negeri saat ini sebesar Rp 2.256.100 (gaji pokok dan tunjangan). Itu untuk pegawai golongan I-A dengan masa kerja satu tahun dan belum kawin. Adapun upah pegawai negeri tertinggi untuk golongan IV-E dengan masa kerja 32 tahun dan tidak kawin Rp 5.688.600. Standar untuk TNI/Kepolisian RI, dari Rp 2.912.200 untuk tamtama masa dinas dua tahun sampai Rp 4.197.800 untuk perwira tinggi golongan IV-D dengan masa kerja dua tahun. (sumber: surabaya post)
 
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Azwar Abubakar menyatakan ada tiga masalah besar dalam birokrasi di negeri ini yang membuat pelayanan publik tidak berjalan baik. Masalah pertama adalah banyaknya jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetapi kebanyakan diantara mereka tidak memiliki skill sehingga sering tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. PNS penuh, enggak ada kerja, di kantor cuma main games. Kemudian distribusi PNS yang tidak merata dan sesuai kebutuhan. Penempatan PNS sering menumpuk di perkotaan. Seperti penempatan guru misalnya, ada sekolah yang satu mata pelajaran diasuh oleh tiga guru, sementara di sekolah lain seorang guru harus mengajar tiga pelajaran karena kurang guru. Ini terjadi hampir disemua daerah, tidak hanya di Aceh. Masalah lain, lanjut dia, adalah buruknya proses perekrutan atau mengandung unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Proses tes penerimaan PNS sekarang dinilai juga belum menjurus kepada menguji skil dan kemampuan.
 
Sebenarnya kurangnya kualitas PNS adalah sebuah kerusakan pada sistem, serta kurangnya kualitas dari pejabat berwenang. Akibatnya kerusakan sistem itu merambat ke pejabat-pajabat di bawahnya. Pegawai negeri yang berada di bawah, ketika tidak mendapat tugas dari atasannya atau mendapat tugas yang tidak sesuai dengan kapasitasnya, tentu tidak bisa melakukan apa-apa. Sementara PNS yang di atas yang terkadang pusing mendapat bawahan dengan kualitas yang kurang bagus; jika mau dikirim training atau seminar, sering terbentur dengan peraturan kepegawaian, ketatnya anggaran serta motivasi pegawai tersebut. Masalah yang juga sering terjadi adalah penyeragaman sistem di seluruh Indonesia, padahal kondisi tiap instansi & tiap daerah tidak sama untuk merubah sistem teknis ini lagi-lagi terbentur kemampuan SDM strategis di level atas yang overload. Menurut saya untuk peningkatan kualitas Pegawai Negeri sipil, perlu diberlakukan pengaturan gaji pegawai negeri sesuai dengan beban kerja, bukan berdasarkan jabatan di instansi.
 
Peningkatan kualitas pegawai negeri sipil juga berkaitan erat dengan masalah-masalah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
 
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
 
Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melihat reformasi birokrasi yang lamban, rakyat sebenarnya sudah lama marah juga. Sebab, rakyatlah yang sehari-hari terpaksa menghadapi banyak birokrasi yang tak bisa diandalkan itu. Bedanya, presiden punya kekuasaan untuk mengubah dengan lebih cepat keadaan tersebut, sedangkan rakyat tidak. Sebenarnya, rakyat juga punya ”kekuasaan” untuk mengubah, tetapi rumit, harus lewat pemilu, dan aspirasi perubahan harus berproses di birokrasi yang lamban itu juga.
 
Kita tentu senang karena ternyata presiden tak nyaman dengan keadaan tersebut. Dengan begitu, kita bisa mengharapkan presiden menggunakan tangan kekuasaannya untuk mengubah keadaan. Pemerintah kita titipi kekuasaan, memang, sebagai ikhtiar untuk mengubah nasib rakyat dan presiden pasti sudah melakukan banyak upaya untuk mengubah keadaan.
 
Untuk yang berada di birokrasi, perubahan itu agaknya harus lebih dipercepat. Street level bureaucracy mengorbankan banyak rakyat untuk memperkaya diri. Ada instansi yang bebal dengan aneka kritik. Contohnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang selalu disorot KPK sebagai institusi yang tak sigap memperbaiki diri.
 
Salah satu problem terberat birokrasi adalah suka memeras. Seakan-akan birokrasi adalah institusi yang seret sehingga setiap saat pengguna jasa layanannya harus memberikan ”pelicin”. Tanda tangan dan stempel menjadi senjatanya. Mereka lupa sudah digaji bulanan dan biaya operasional kantornya sudah ditanggung anggaran negara.
 
Publik penikmat jasa layanan juga maklum bila dibebani biaya tambahan asal resmi dan ada kuitansi. Keadaan akan berbeda apabila dalam kasus semacam itu yang ditegakkan adalah pasal pemerasan. Birokrat yang menerima uang pelicin dari penerima jasa layanan sebaiknya dibidik dahulu dengan pasal pemerasan. Ciri pemerasan tersebut jelas sekali. Yakni, sang birokrat tak mau atau enggan menjalankan kewajibannya memberikan layanan apabila tidak ada uang tambahan. Sang birokrat memanfaatkan kekuasaannya dan kelemahan posisi penerima layanan.Sebab, penerima layanan mau tak mau harus berhubungan dengan sang birokrat sebagai representasi kekuasaan negara. Dengan menerapkan pasal pemerasan itu, publik penerima layanan yang dipaksa mengeluarkan uang lebih akan berani berteriak. Sebab, dia aman dari tuduhan penyuapan. Dengan banyaknya orang yang berani berbicara saat dimintai uang lebih, kebiasaan makan uang pelicin bisa diberantas. Sebab, publik merasa terlindungi ketika melaporkan pejabat yang rakus tersebut.
Sebagai kesimpulan, peningkatan kualitas Pegawai Negeri Sipil sangat penting karena berhubungan langsung dengan reformasi birokrasi. 
Kemal Anshari Elmizan
1102001002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar